Kamis, 20 Oktober 2011

Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada Wacana Non Ilmiah


DERITA SASANDEWINI DAN SUNTRE
Jasad itu terbujur kaku. Darah kering merah kehitaman masih membekas disudut bibir laki-laki gagah yang terlalu muda untuk meninggalkan sebuah keluarga yang tengah dibangunnya. Tidak ada yang kuasa menolaknya jika maut telah menjemput manusia, tidak terkecuali kedua gadis belia yang masih sangat merindulan kehadiran sosok ayah.
Tiga wanita itu masih terus meratapi kepergian orang tercinta. Si ibu terus meratapi kematian suaminya. Bahkan, dia meraung-raung kepergian suaminya. “Yang Mahaagung, kenapa secepat ini engkau panggil ayah anak-anakku. Mereka masih terlalu kecil dan mereka harus menderita jarena kehilangan ayah. Gerangan penyakit apakah yang engkau kirimkan kepada suamiku dan penduduk di kampung ini? Kami tak sanggup menanggung beban hidup ini.”
Begitulah ratapan ibu dua gadis kecil setiap saat didepan jasad orang yang sangat dicintai sekaligus dihormatinya. Beberapa hari jasad ayah sasandewini diletakkan disebuah papan didalam gubugnya. Jasad itu memang belum dan tidak dikuburkan. Nantinya, jasad itu akan disimpan disebuah tempat yang sudah tersedia seperti halnya jenazah-jenazah lain dari penduduk kampung itu, yakni disimpan disebuah tempat layaknya sebuah perkuburan. Tempat itu terbentuk rumah yang dibangun denga tiang-tiang kayu yang berukir sebagai penyangga atau penopangnya dan diletakkan ditempat yang agak tinggi. Bangunan itu hanya berfungsi untuk menyimpan mayat.
Wacana diatas merupakan pemanfaatan bahasa Indonesia sebagai tataran non ilmiah. Yang diambil dari cuplikan dongeng yang berjudul Derita Sumasandewini Suntre. ditulis berdasarkan fakta pribadi, fakta yang disimpulkan subyektif, gaya bahasa konotatif dan populer,tidak memuat hipotesis,penyajian dibarengi dengan sejarah,bersifat imajinatif, situasi didramatisir, dan bersifat persuasif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 20 Oktober 2011

Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada Wacana Non Ilmiah


DERITA SASANDEWINI DAN SUNTRE
Jasad itu terbujur kaku. Darah kering merah kehitaman masih membekas disudut bibir laki-laki gagah yang terlalu muda untuk meninggalkan sebuah keluarga yang tengah dibangunnya. Tidak ada yang kuasa menolaknya jika maut telah menjemput manusia, tidak terkecuali kedua gadis belia yang masih sangat merindulan kehadiran sosok ayah.
Tiga wanita itu masih terus meratapi kepergian orang tercinta. Si ibu terus meratapi kematian suaminya. Bahkan, dia meraung-raung kepergian suaminya. “Yang Mahaagung, kenapa secepat ini engkau panggil ayah anak-anakku. Mereka masih terlalu kecil dan mereka harus menderita jarena kehilangan ayah. Gerangan penyakit apakah yang engkau kirimkan kepada suamiku dan penduduk di kampung ini? Kami tak sanggup menanggung beban hidup ini.”
Begitulah ratapan ibu dua gadis kecil setiap saat didepan jasad orang yang sangat dicintai sekaligus dihormatinya. Beberapa hari jasad ayah sasandewini diletakkan disebuah papan didalam gubugnya. Jasad itu memang belum dan tidak dikuburkan. Nantinya, jasad itu akan disimpan disebuah tempat yang sudah tersedia seperti halnya jenazah-jenazah lain dari penduduk kampung itu, yakni disimpan disebuah tempat layaknya sebuah perkuburan. Tempat itu terbentuk rumah yang dibangun denga tiang-tiang kayu yang berukir sebagai penyangga atau penopangnya dan diletakkan ditempat yang agak tinggi. Bangunan itu hanya berfungsi untuk menyimpan mayat.
Wacana diatas merupakan pemanfaatan bahasa Indonesia sebagai tataran non ilmiah. Yang diambil dari cuplikan dongeng yang berjudul Derita Sumasandewini Suntre. ditulis berdasarkan fakta pribadi, fakta yang disimpulkan subyektif, gaya bahasa konotatif dan populer,tidak memuat hipotesis,penyajian dibarengi dengan sejarah,bersifat imajinatif, situasi didramatisir, dan bersifat persuasif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar